Cerpen Kugapai Mimpiku hingga ke Sudan (PART 2)
Masa Penantian...
Tentunya perjalanan belum selesai. Perjalanan masih panjang, tidak berhenti di lulusnya ujian di EA1 (English Arabic One) saja. Setelah ujian selesai, kami dipersilahkan kembali ke daerah asal. Bagaimana denganku? Aku masih haus ilmu dan masih menetap di Kos untuk beberapa hari sambil memikirkan “Akan merantau kemana lagi setelah ini?”. Keputusanku adalah ke Pare lagi untuk mengasah bahasa agar lebih mahir dari sebelumnya karena aku sadar ilmu yang selama ini aku dapatkan masih sangat minim dan kurang.
Setelah keputusan matang, tiba-tiba ditelvon orangtua. Orangtua menyuruhku pulang. Katanya rindu denganku dan ingin mendengar semua kisah tentang perjalananku di Malang. Aku kaget, nangis, dan mendadak terpuruk. Perihal rindu, tentunya aku juga sangat rindu dan ingin bertemu. Aku bingung antara memilih pulang atau lanjut belajar ke Pare. Pikirku jika aku pulang dan sudah terlalu nyaman dengan keluarga, aku tidak mau pergi jauh lagi. Toh untuk apa kelamaan dirumaah? Jangka waktu berangkat ke Sudan masih 4 bulan lagi.
Disini aku berfikir betapa indahnya seorang musafir ilmu yang sudah menikmati manisnya menuntut ilmu, tidak peduli seberapa jauh tempatnya, bagaimana keadaannya, tidak melulu mengeluh ingin pulang, tidak melulu memikirkan kesenangan dunia saja seperti jalan-jalan dan liburan, betapa indahnya kan? Aku pernah di titik ini, kamu bagaimana?
Setelah pikir panjang, akhirnya akulebih memilih pulang. Menuntut ilmu itu ibadah, tapi berbakti kepada orangtua juga ibadah yang jelas jauh lebih besar pahalanya. Walaupun kecewa karena pupusnya harapan, tapi aku yakin dan husnudzon bahwa Allah pasti akan menggantinya.
Satu bulan dirumah. Temu kangen dan saling tukar cerita dengan bapak, ibu, dan adek. Kemudian aku ijin ke Pare dan Alhamdulillah diijinin. Benar, kan? Allah pasti mengganti, hanya saja waktunya bertolak belakang dengan kemauanku. Karena Allah lebih paham apa yang aku butuhkan, bukan hawa nafsu yang aku paksakan. Setelah satu bulan di Pare, aku ijin tambah 1 bulan lagi yaitu di bulan Ramadhan tepatnya tapi orangtua tidak mengijinkan dengan alasan ingin Ramadhan lengkap denganku karena aku bentar lagi akan pergi jauh dan lama.
Nah, disinilah letak puncak masalahnya. Dari bulan Ramadhan (Mei) hingga Agustus masih belum ada pengumuman tanggal pemberangkatan. Tanggal pemberangkatan bisa ditentukan kalau surat qobul (surat kelulusan) dari kampus sudah keluar. Jika sudah, baru bisa lanjut ke pengurusan visa, tiket, dan penentuan tanggal. Setiap kami tanya di grup mengenai kapan berangkat ke Sudan, jawabannya selalu mengecewakan, diundur terus. Katanya awal Agustus berangkat, mundur menjadi pertengahan Agustus, kemudian akhir Agustus, mundur terus hingga akhir Oktober. Kami digantungkan, tidak jelas kapannya. Dan ini murni bukan kesalahan EA1, tapi murni kesalahan sistim di Sudannya. Setiap kali bertanya, jawabannya selalu sama “masih menunggu” dan sebabnya pun masih sama “murni kesalahan Sudan”. Mau bagaimana lagi?
Kala itu, bulan September, pengumuman di grup sudah sangat meyakinkan bahwa September kami akan berangkat walaupun masih belum jelas kepastian tanggalnya. Ada bulan hijriah yang baik di bulan Sepetember 2019 ini, yaitu bulan Suro. Bulan yang ditunggu-tunggu banyak orang untuk bisa saling mengasihi kepada anak yatim piatu. Saking bahagia dan bangganya bapak, bapak menggelar acara selametan besar-besaran dalam rangka mohon do’a restu untuk pemberangkatanku ke Sudan, sekaligus santunan anak yatim piatu dan akekahanku. Akulah yang mengisi ceramahnya. Berdiri dihadapan para ustadz, para orangtua, dan beberapa orang politik. Ratusan orang duduk di depanku, mendengarkanku dengan meneteskan airmata disetiap cerita dan motivasi yang aku lontarkan. Bahkan orang-orang yang tidak diundang sekalipun. MasyaAllah adeeeemm, ya?
Acara itu adalah pemaksaan dari bapak. Aku sudah menolak sebelumnya dengan alasan aku tidak suka hal yang terlalu mewah dan karena belum jelas kapan tanggal pemberangkatannya. 2-3 minggu kemudian disaat bapak lagi capek-capeknya, aku ceroboh dan keceplosan bilang kalau aku sudah beberapa hari tidak nafsu makan, sulit tidur nyenyak, dan berat badan mendadak turun 3kg. Saat itulah bapak menuangkan semua uneg-unegnya dengan tanpa sadar perkataannya sudah sangat menyakiti hati ini. Beliau bilang, “ Gimana luk? Sudah ada perkembangan lagi belum? Instansinya bisa dipercaya atau tidak? Mana nomor telepon instansinya! Bapak tidak mau tahu itu kesalahan Sudannya atau bukan yang jelas semuanya tentang kamu itu tanggung jawab instansinya. Bapak tidak suka lihat kamu yang pengangguran, isinya tiduran terus dan dirumah terus. Hampir setengah tahun kamu nganggur dan digantungkan. Harusnya instansi bilang yang jelas kamu diberangkatakan bulan apa walaupun belum bisa tahu jelas kapan tanggalnya. Tahu begini kamu merantau dan belajar lagi, tahu begini Ramadhan kemarin kamu tidak usah pulang ke rumah, tahu begini kemarin tidak usah diadakan acara selametan besar-besaran (dan penyesalan-penyesalan lainnya). Kamu tahu tidak? Untuk acara kemarin itu menghabiskan uang banyak, menghabiskan belasan juta dan uang belasan juta itu tidak sedikit! Tapi apa balasannya? Balasannya sampai sekarang masih tidak jelas kapan berangkatnya. Bapak itu malu ditanya teman-teman, tetangga, saudara tentang kamu yang tidak lekas berangkat ke Sudan. Bapak itu malu dan tidak bisa jawab, kamu mengerti tidak?!”
Ya Allah... Andai aku itu bisa berani membantah ya? Beginilah kebiasaanku dari kecil, aku hanya menahan nangis di depannya walaupun rasanya hati benar-benar menjerit dan ingin lepas dari tubuh wkwk serius amat woee... Aku tidak berani membantah. Hanya diam agar masalah tidak semakin membesar. Aku hanya bisa bergumam begini; Dari awal siapa yang memintaku agar Ramadhan dirumah saja? Siapa yang meminta diadakannya acara besar-besaran? Siapa yang menyebarkan berita tentang aku akan ke Sudan? Aku juga capek dengan adanya pertanyaan-pertanyaan mengenai kapan berangkat ke Sudan. Aku tuh lebih capek, pak :’) Yang bertanya kepada bapak mungkin hanya sebatas teman, tetangga, dan sudara. Lah aku? Betapa banyaknya teman perantauan yang tanya, banyaknya ustadz-ustadzah yang dekat denganku pada tanya, tetangga, teman-teman bapak dan ibu, keluarga besar, dan termasuk bapak-ibu sendiri juga hampir tiap hari bertanya. Siapa yang tidak capek ditanya begitu? Sementara jawabannya hanya satu yaitu masih menunggu. Dikira aku tidak cemas, apa? Dikira aku tidak frustasi juga, apa? Semua pertanyaan memang membutuhkan jawaban, tapi tidak semua pertanyaan mudah untuk dijawabnya. Ditanya “kapan berangkat” itu ibarat ditanya “kapan menikah” tapi belum jelas jodohnya siapa. Syedih khaaan.... :(
Sementara aku bukan tipikal orang yang mengabaikan chat ataupun pertanyaan orang-orang. Akhirnya cuma kujawab “Sabar, ya? Nanti jika sudah jelas kapan berangkatnya, tanpa kamu bertanya pun sudah pasti kukabari”. Itu jawaban yang jelas untuk End Chat. Tapi entah mereka paham atau enggak, di hari-hari berikutnya mereka masih pada bertanya lagi, lagi, dan lagi. Siapa yang tidak frustasi coba? Oke, aku paham kalu ini adalah tanda peduli dan perhatian sebagai teman. Tapi tolonglah, siapa yang mau mengerti? Jika aku menjawab pun, pasti akan ada beberapa pertanyaan lagi setelahnya seperti “Kok bisa?” atau “Kenapa?”. Sementara jika kujelaskan, apa pedulinya? Mau menemui di Bandara kah? Mau bantu aku urus ini itu kah? Tidak kan? Tidak memberikan efek apapun kepadaku jika kujelaskan alasannya karena sudah jelas jawaban terakhir pasti “Oalah, sabar ya.” Memang begitulah, kebanyakan orang-orang bertanya “Kenapa?” tapi tidak benar-benar ingin mendengar alasannya. Hingga akhirnya aku dititik penat dan capek. Aku abaikan semua pertanyaan mengenai kapan berangkat ke Sudan. Aku tidak menjawabnya. Tidak peduli sedekat apa dia sama aku karena biar adil. Btw ini kecuali orantua dan guru-guru.
Setelah menghadapi bapak yang tinggi emosinya malam itu, aku langsung keluar ke teras atas untuk menangis karena sakit hati. Aku mencoba hubungi beberapa teman dan ustadz-ustadzah yang biasa aku curhatin, tapi apa? Semuanya off. Meskipun ada yang tidak off, dia lagi sibuk. Allahu Akbar... Disinilah aku mendapat pembelajaran bar bahwa “لا ترجوا إلى الناس، ترجوا إلى الله"
(Jangan berharap sama manusia, tapi berharaplah sama Allah)
Allah dulu, baru manusia. Siapa tahu Allah memberi petunjuk lewat manusia tersebut. Saat itu posisiku sedang tidak sholat, aku hanya bisa do’a dan do’a, termasuk di setiap antara adzan dan iqamah. Dua hari isinya murung, hanya doa’, nangis, do’a, nangis, dan tidak mau makan. Depresi diri ini. Tapi tetaplah aku berpikir bagaimana solusi dari permasalahan ini? Dan Alhamdulillah dapat jawabnnya. Tiba-tiba saja setelah do’a diantara adzan dan iqamah dzuhur saat itu, aku baca info di IG dibuka program 2 minggu kursus di Al Azhar Pare. Tanpa pikir panjang, aku langsung daftar dan pesan tiket untuk kesana. Setelah semua selesai, barulah aku bilang ke orangtua. Alhamdulillah diijinin. Pagi daftar, malamnya berangkat. Nekat saja, walaupun aku bakalan jadi murid baru nantinya karena telat 3 hari.
10 hari di Pare, tidak ada yang tahu aku disana, bahkan teman paling dekat denganku pun tidak tahu. Aku off sosmed juga. Aku yang biasa dikenal “Lutev” dulu di Pare, kemudian aku mengenalkan diri ini menjadi “Lutfi” dengan tampilan memakai masker setiap kemana-mana. Ini semua bertujuan agar teman-temanku yang masih di Pare tidak mengenaliku dan tidak muncul pertanyaan-petanyaan baru lagi. Ya Allah betapa indahnya nikmat-Mu. Walaupun 10 hari saja di sana, Allah mengasihiku hiburan hati terbaik buatku yaitu teman sekelas yang benar-benar rasa keluarga, asik, lucu, dan tinggi kepeduliannya. MasyaAllah tidak akan kulupakan mereka.
Lalu apa kesibukanku di masa penantian dari April hingga Oktober? Selain aku isi dengan kursus, aku isi waktuku dengan jelajah juga. Aku sering kali jalan-jalan dan ngopi di Caffe. Di sosmed biasa kusebut dengan “Pengangguran foya-foya”. Tampaknya indah, ya? Sampai banyak sekali yang berkomentar “Enak ya jadi kamu, isinya jalan-jalan terus, ngaffe terus, bisa kumpul keluarga, dll”. Benakku pun membalas “Enak ya jadi kamu, hidup kamu jelas alurnya, sedang merasakan nikmatnya belajar di tanah rantau, bukan seperti aku yang harus atur kesibukan sendiri”. Nah sampai sini, kalau semua orang hidup dengan pikiran “Enak ya jadi kamu” lalu kapan kita bisa belajar bersyukur?
Kesibukan lainnya yaitu aku selalu ngopi dan ngopi, explore Caffe. Juga mencari info-info kajian di Semarang, seperti kajian Habib Omar dari Yaman di Simpang 5, kajian Ustadzah Oki Setian Dewi, kajian Azzahir, dll karena aku sadar, aku ini kosong siraman rohani. Mayoritas kudatangi kajian sendiri, karena aku sedang belajar untuk “sedikit bicara, banyak bertindak”. Jadi seringkali aku melakukan apapun dengan dadakan hehe.
Aku juga mencoba belajar masak dengan ibu, hingga banyak yang tertarik dengan masakan kita kemudian kita jual. Kita jualan donat, sambal baby cumi, baby fish crispy, dll sesuai mood kita. Pokoknya selalu berusaha cari ridho orangtua dengan harapan agar bagaimanapun kesusahanku di Sudan nantinya, selalu terbayar balasan indah dari Allah dan selalu dipermudah segala urusanku.
Tapi... Semua itu seperti percuma atau tidak bernilai di mata bapak. Bapak yang jarang sekali dirumah kecuali jam-jam istirahat, menilaiku bahwa aku isinya tiduran terus, nganggur, dll. Akhirnya bapak bisa sadar setelah dijelaskan oleh ibu di detik-detik aku mau berangkat.
Menjadi pengangguran foya-foya seperti aku pun tidak semulus itu jalannya. Aku yang sedang santai dirumah, bisa-bisanya tertipu 5 juta. 5 juta hangus gaesss... 5 juta!!! HAH? KOK BISA? Iya, temanku dihipnotis oleh orang yang menelvonnya. Menyuruh temanku transfer uang *sekian... Karena temanku tidak mempunyai uang, dia coba meminjan aku. Singkat cerita, saldoku di M-Banking 5 juta menghilang. Buseettttt, paraaahh, gilaaa...
Temanku bilang janji bakal mengganti di hari itu juga karena uang itu untuk membayar kekurangan pembiayaan ke Sudan yang sudah hampir mendekati batas akhir. Kutunggu beberapa hari, hasilnya percuma. Temankumenghilang, lost contact, tidak ada kabar. Aku bingung. Belum lagi mengatasi ibu yang terus bertanya. Gara-gara itu, ibuku harus bekerja lebih giat lagi untuk cepat-cepat mengganti hilangnya 5 juta tersebut agar tidak ketahuan bapak dan tidak terlambat bayar. Kenapa tidak mencoba hutang dulu? Karena prinsip orangtuaku, bagaimanapun caranya biaya sekolah anak jangan sampai hutang agar ketika anak sekolahpun tenang. MasyaAllah...
Ngomong-ngomong, aku baik sekali ya orangnya? Saking baiknya, bisa-bisanya aku menjadi orang yang bodoh. Sangat ceroboh. Memang, orangtuaku selalu menasehatiku agar jangan pernah capek menjadi orang baik, kapanpun, dimanapun, dan bagaimanapun keadaannya, Iya, itu memang benar indahnya. Tapi aku lupa dengan nasehat “Sak bejo bejane wong iku luwih bejo wong kang eling lan waspodo” Artinya “Seberuntung-beruntungnya orang itu orang yang mau ingat dan waspada”. Disitulah letak salahnya, aku lupa pada nasehat tersebut dan aku tidak waspada pada kebaikanku tadi. Rasanya tubuh ini sudah tidak ada tenaganya, lemas semua, bingung. Sementara bapak sangat melarang keras aku bekerja.
Setelah beberapa bulan, ibu bisa ikhlas walaupun aku masih terus merasa bersalah sampai detik ini. Semua itu terbayar dengan kabar bahagia mengenai keluarnya Qobul dari kampus. Akir bulan Oktober, tepatnya. Ya Allah.... Betapa bahagianya kami. Tidak ada henti-hentinya mengucap rasa syukur kepada-Nya. Tidak pernah terbayang sebelumnya, jika bapak akan nangis dihadapanku. Aku menyaksikan tetesan air matanya. Tangisan bangga dan bahagia karena bapak masih tidak menyangka jika didikannya untuk mensukseskan anak belajar di Luar Negeri itu berhasil.
Singkat cerita, 15 November aku berangkat dari SMG ke JKT ditemani ibu. 16 November adalah perjalanan dari JKT ke Kuala Lumpur kemudian tour dulu 2 hari disana. Malam, 17 November berangkat dari Kuala Lumpur ke Khartoum. Senin siang, 18 November sampailah kami di Sudan. Tentunya di tanggal-tanggal tersebut mempunyai cerita-cerita unik tersendiri tapi cerita ini sudah terlalu panjang. Kapan-kapan lagi saja, supaya tidak membosankan.
Atau kalian bisa lihat video perjalananku di : https://www.instagram.com/p/B5h7hSEH8XA/?igshid=13ewkr2hs1303
Alhamdulillah ‘ala kulli hal, diri ini bisa menuntut ilmu di International University of Africa (IUA) di Khartoum-Sudan. Dari sini aku bisa menyimpulkan bahwa setiap orang yang menuntut ilmu di Sudan pasti mempunyai masalah unik tersendiri. Berbeda-beda tingkatan, tentunya. Dan ujian tertulis untuk bisa ke Sudan itu 20%, persiapan biaya 30%. Sisanya 50% adalah konflik batin dan mental untuk berani ke Sudan. Kesan pertama kali tiba di Sudan, Sudan itu indah, unik, dan tentunya bukan seperti pandangan buruk orang-orang diluaran sana yang memandang dari kacamata “JARENE”. Indahnya belajar di Sudan, diri ini jadi bisa belajar menjadi orang yang sabar, ikhlas, bersyukur, dan belajar menerima apapun keadaannya.
Begitulah hidup, cobaan akan terus ada, selalu ada. Dan seberat apapun kita mendapatkan masalah atau cobaan, kita tidak mungkin tidak bisa menyelesaikannya atau melewatinya. Kenapa? Karena Allah itu memberi masalah sesuai dengan kemampuan kita atau tingkat kehidupan kita. Jadi, semangat! Kita Kuat, Kita Bisa, Kita Hebat.
YUHUUUUU......
-SELESAI-
Dowo tenan
ReplyDeleteWkwk aku be males ngetikke 🤣
DeleteWah Sampek nangis ana baca nya kk
ReplyDelete