Cerpen Seorang Preman yang Mulia


Cerpen Seorang Preman yang Mulia


Semasa kecil, aku hidup dari keluarga miskin. Ayahku seorang preman, begitulah kata warga sekitar. Mabuk-mabukan, judi, maling itulah rutinitas keseharian ayahku. Baginya, maling adalah hal yang membuatnya bahagia, karena hasil curiannya ia bagikan ke anak yatim piatu di panti asuhan. Hal ini dilakukannya karena ia tidak suka melihat orang kaya, hidup enak, dan kebutuhannya selalu terpenuhi, sedangkan masih banyak orang lain yang hidup sengsara dan serba kekurangan. “Toh, anak yatim piatu disana tidak tahu kalau yang kukasih adalah hasil curian. Jumlah mereka banyak dan mereka tentu akan mendoakanku yang baik-baik. Ini cepat terkabul daripada doa jelek dari satu orang yang menjadi korban curianku,” pikir konyol ayahku.

Seiring berjalannya waktu, ia sadar bahwa maling adalah perbuatan yang tidak benar, kemudian ia berusaha mencari nafkah dengan cara yang halal, mulai dari menjadi tukang semir sepatu, tukang becak, pedagang siomay, dan jualan koran.
Semakin ia berusaha menjadi baik dan terus maju, semakin banyak pula cobaan yang datang menghampirinya. Ayahku sudah berusaha mencari nafkah yang halal, tetapi kebiasaan mabuk dan judinya belum ia tinggalkan. Hingga suatu ketika, ia difitnah menggunakan narkoba, padahal mencicipi rokok pun tidak pernah.

Fitnah terus ada, seringkali ayahku menjalani tes urine narkoba untuk membuktikan bahwa hasilnya negatif. Bagi ayahku, semakin difitnah orang, semakin didekatkan pula rejekinya. Cobaan itu selalu ada, tetapi seberat apapun cobaan yang Allah berikan, tidak mungkin ia tidak mampu melewatinya, karena Allah memberi masalah itu sesuai dengan tingkat kemampuan hambanya.

Suatu hari ada seseorang datang dan menawarkan pekerjaan kepada ayahku,
“Bagaimana jika kamu jualan rajungan saja?” tawaran temannya ke ayahku.
“Bagaimana caranya?” tanya ayahku kebingungan.
“Sudah... Tidak usah bingung, kamu ikuti saja jalanku.” jawab temannya.

Pada zaman itu, ayahku sama sekali tidak paham konsep berdagang. Ia bukanlah seorang yang cerdas dengan lulusan sekolah yang tinggi. Menjadi orang pintar, seperti sesuatu yang tidak mungkin baginya, tetapi menjadi orang sukses yang kaya itu adalah kemungkinan yang besar, karena ia orang yang jujur, tekun, dan teliti dalam urusan pekerjaan.

Seburuk-buruknya orang pasti ada sisi baiknya, ia sangat suka menghadiri kajian-kajian islami. Ia seorang yang tawaduk dengan para kiai. Kebiasaan orang lain datang ke kiai minta doa agar rejekinya melimpah, tetapi ayahku tidak, ia hanya meminta barokah dan doanya untuk anak dan istri agar menjadi orang yang sholeh/sholehah dan taat kepada orang tua. Entah apa yang istimewa darinya, tetapi setiap sowan kepada kiai, ia selalu dipegang kepalanya, didoakan, kemudian ditiupkan ke kepalanya.

Hari demi hari berlalu, ayahku menjadi orang yang penuh rasa syukur dan hidup berkecukupan dengan uang yang halal, yaitu dari usaha menjual rajungan (hasil laut). Masa inilah membuatnya selalu teringat masa lalu, bagaimana susahnya menjadi orang miskin, susah mencari pekerjaan, makan enak pun tidak pernah, dan dianggap bajingan oleh warga sekitar. Hal ini membuatnya memiliki sifat belas kasihan terhadap orang-orang yang serba kurang. Ayahku tidak pernah tega melihatnya. Ayahku selalu menyisihkan uang hasil kerjanya untuk sedekah kepada orang miskin, anak yatim piatu, juga membagikan nasi kotak kepada janda tua di pasar dekat rumah setiap hari jumat.

Semua hal ini berawal dari terpaksa, memaksakan diri untuk menjadi orang yang baik, kemudian terbiasa, hingga akhirnya menjadi orang yang luar biasa. Meskipun berawal dari orang yang tidak berpendidikan tinggi, sekarang ia menjadi orang sukses, ia menjual semua hasil laut di berbagai kota, bukan hanya rajungan saja. Dari seorang bajingan, sekarang ia bisa bergaul dengan semua kalangan, akrab dengan para pejabat, polisi, pengusaha besar, kiai serta para habib, walaupun ayahku tidak memiliki jabatan apapun seperti mereka. Dari orang miskin, sekarang ia bisa menyekolahkanku ke luar negeri, Sudan tepatnya. Walaupun ayahku sangat jauh dari agama dulunya, setidaknya sekarang aku berusaha menjadi orang yang lebih dekat dengan agama untuk menuntunnya ke jalan yang benar.

Yeah, sekarang aku menjadi mahasiswi di International University of Africa, Sudan. Tentunya tidak mudah hidup di negeri orang, tetapi aku ingat betul pesan ayahku sebelum aku berangkat ke Sudan,
“Kalau kamu menjadi orang pintar, tolong jangan sok pintar dengan orang bodoh. Kalau kamu menjadi orang kaya, tolong jangan sok kaya dengan orang miskin. Jangan mudah meremehkan orang remeh, karena orang yang kamu remehkan belum tentu remeh.” 

Singkat pesannya, tetapi luas maknanya. Aku selalu mengingat dan mengamalkan pesannya. Dari ayah, aku semakin cinta berbagi kepada sesama. Walaupun ada saatnya aku tidak bisa bersedekah uang, aku berusaha bersedekah waktu dan tenaga untuk teman-teman.

Sesuai firman Allah dalam (QS. Al Anfal [8]: 60) yang berbunyi;
وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ
Artinya: “Apa saja yang kamu infakkan di jalan Allah, niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dirugikan.”

Aku sangat merasakan manfaatnya dalam kehidupanku, jika sedekah lancar, maka hati akan tenang, nyaman, bahagia, dan segala urusan menjadi mudah. Apapun yang kubutuhkan selalu dikasih-Nya dengan cepat, padahal baru berkata dalam hati saja. Memang, tidak semua perbuatan baikku bisa dihargai orang, bahkan sekadar mengucap "Terimakasih" pun tidak, tetapi inilah yang membuatku untuk belajar ikhlas dan lapang dada. Jangan pernah capek menjadi orang baik. Aku percaya bahwa Allah Maha Melihat, Allah pasti akan membalas perbuatan baik hambanya dari berbagai arah, termasuk dengan cara yang tak terduga sekalipun.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Cerpen Seorang Preman yang Mulia"

Post a Comment

Cerpen Kugapai Mimpiku hingga ke Sudan

Cerpen Kugapai Mimpiku hingga ke Sudan

Kugapai Mimpiku hingga ke Sudan Hai... Namaku Lutfiana. Biasa dipanggil Lutev. Aku lulusan dari MA NU ASSALAM, Kudus tahun 2018. ...